Nasional

Diplomasi Indonesia - Afrika di babak Geopolitik Baru

Thursday, 23 October 2025 13:07 WIB
Foto: Muhammad Sirod, Fungsionaris Kadin Indonesia / Ketua Umum HIPPI Jakarta Timur

Radarsuara.com - Kunjungan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa ke Indonesia adalah momentum strategis yang menandai babak baru hubungan antar dua kawasan yang selama ini sering dipinggirkan oleh narasi global: Asia dan Afrika. Hegemoni Barat mulai memudar, saatnya kedua benua luas dan kaya ini memimpin.

Secara geopolitik, langkah ini memperlihatkan pergeseran orientasi dunia yang semakin tidak lagi didominasi satu kutub. Ketika Presiden Prabowo menempati posisi penting di antara para pemimpin besar seperti Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Kim Jong-un, dunia menyadari bahwa Indonesia bukan lagi negara pelengkap dalam forum global. Kita sedang bergerak menjadi penentu arah, terutama dalam isu perdamaian dan keadilan internasional.

Afrika Selatan kini memegang presidensi G20. Artinya, mereka punya posisi tawar yang tinggi di kancah ekonomi dunia. Ketika mereka datang ke Jakarta, itu menunjukkan pengakuan atas posisi strategis Indonesia di tengah poros Timur yang sedang menguat.

Saya melihat ini bukan hanya hubungan antarnegara, tetapi pertemuan dua benua yang punya pengalaman sejarah sama: pernah dijajah, pernah diremehkan, namun kini tumbuh dengan identitas dan daya juang mandiri.

Saya teringat bagaimana Bung Karno dulu menggagas Konferensi Asia Afrika di Bandung. Kini, semangat itu terasa hidup kembali. Bedanya, dulu kita berkumpul untuk menyuarakan kemerdekaan politik, sekarang kita bersatu untuk membangun kemandirian ekonomi.

Dalam konteks perdagangan, peluangnya terbuka lebar. Afrika adalah pasar besar yang punya kebutuhan tinggi terhadap produk konsumsi cepat saji, bahan pangan olahan, dan produk retail. Lihat saja bagaimana Indomie menjadi ikon kuliner di berbagai negara Afrika. Itu bukan sekadar mie instan, tapi simbol bagaimana industri Indonesia mampu menembus pasar global dengan adaptasi budaya yang cerdas.

Selain itu, model bisnis ritel kita seperti Alphamart sudah terbukti tangguh di pasar domestik. Konsep ini bisa dibawa ke Afrika, bukan hanya untuk menjual barang, tapi juga menularkan sistem logistik dan manajemen distribusi yang efisien. Dengan cara itu, kita tidak sekadar mengekspor produk, tapi juga kompetensi.

Bila kerja sama ini dijalankan dengan baik, Indonesia bisa menjadi mitra utama Afrika dalam banyak hal. Kita bisa ekspor talenta manajerial dan tenaga teknis ke sana, melatih sumber daya lokal, sekaligus menciptakan peluang kerja bagi tenaga profesional kita di pasar global. Inilah ekspor dalam bentuk baru — bukan barang, tapi kecakapan.

Namun saya juga realistis, kerja sama seperti ini butuh ketepatan teknis dan regulasi yang rapi. Harus ada keseimbangan dalam perjanjian dagang. Misalnya, kalau kita membuka pasar bagi komoditas Afrika seperti kopi robusta, maka harus dipastikan tidak menekan produksi lokal kita. Sebaliknya, ketika mereka butuh produk pangan atau retail modern, kita harus siap masuk dengan sistem yang sudah teruji.

Saya melihat gaya kepemimpinan Presiden Prabowo yang langsung turun tangan menjadi faktor pembeda dalam diplomasi kali ini. Beliau bukan hanya presiden, tapi juga memainkan peran strategis layaknya menteri luar negeri, menteri pangan, dan menteri pertahanan sekaligus. Tiga sektor ini saling terkait dalam membentuk kemandirian nasional.

Langkah Prabowo yang menertibkan tambang, menegakkan disiplin di sektor industri, dan menegaskan kedaulatan ekonomi menunjukkan arah besar yang jelas: Indonesia tidak boleh lagi menjadi penonton dalam rantai pasok global. Ketika sumber daya kita dikelola dengan tertib dan hasilnya dijaga, kita bisa menjadi mitra yang dihormati, bukan objek eksploitasi.

Saya percaya bahwa dengan fondasi yang benar, hubungan dagang dan politik antara Indonesia dan Afrika akan berkembang secara alami. Dari pertukaran dagang, kita bisa berlanjut ke transfer teknologi, pertukaran pelajar, hingga kolaborasi industri. Semua itu membawa multiplier effect bagi ekonomi nasional.

Yang penting sekarang adalah memastikan agar kerja sama ini tidak hanya berhenti di meja pertemuan antar presiden. Pemerintah, dunia usaha, dan lembaga keuangan harus bergerak bersama. Bank-bank nasional yang sudah matang di dalam negeri perlu diperluas ke Afrika, agar jalur transaksi dan pembiayaan perdagangan bisa efisien.

Kita juga harus menjauhi praktik curang dan perilaku koruptif. Dunia kini menilai Indonesia bukan dari pidato, tapi dari konsistensi dalam tindakan. Saya sepakat dengan pendekatan Prabowo yang menegakkan disiplin di dalam negeri sebelum berbicara di luar negeri. Ketika kita sudah beres di dalam, maka kita akan disegani di luar.

Afrika dan Indonesia punya banyak kesamaan: sama-sama kaya sumber daya, sama-sama sedang belajar menata sistem, dan sama-sama punya generasi muda yang energik. Kalau kedua kawasan ini bersinergi, dunia akan melihat babak baru dalam peta ekonomi global.

Saya optimistis, kerja sama ini bukan hanya akan menguntungkan negara, tapi juga rakyat. Karena pada akhirnya, setiap diplomasi yang berhasil harus bermuara pada kesejahteraan masyarakat. (*/Adv) 

Komentar

You must login to comment...